makalah sosiologi pendidikan


BIROKRASI PENDIDIKAN



MAKALAH
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Kelompok
Dalam Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan
DosenPengampu : Nurlila Kamsi, M.Pd

Disusu Oleh:


LUNGAYU INTININGSIH            NIM: 1725.0024
RESI SUSANTI                               NIM: 1725.0035



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
BUMI SILAMPARI LUBUK LINGGAU
2018/2019

KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan Sosiologi Pendidikan.
Sosiologi Pendidikan ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
 Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki Sosiologi Pendidikan ini.


Lubuk Linggau, 30 November  2018


 Penulis




DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB I PENDAHULUAN 4
A.    Latar Belakang 4
B.     Rumusan Masalah 5
C.     Tujuan Penulisan 5
BAB II PEMBAHASAN 6
A.    Pengertian Birokrasi Pendidikan Islam 6
B.     Birokrasi Dalam Lembaga Pendidikan Islam 9
C.     Perilaku Organisasi Pendidikan Islam 11
D.    Budaya Organisasi Pendidikan Islam 12
BAB III PENUTUP 15
A.    Kesimpulan 15
B.     Saran 15
DAFTAR PUSTAKA 17












BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, kita tidak akan lepas dari yang namanya rantai birokrasi (struktur, aturan atau kekuasaan). Birokrasi bertugas untuk menerjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik, dan berfungsi melakukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara operasional. Birokrasi adalah faktor yang sangat mempengaruhi agenda pemerintahan, termasuk dalam pengembangan sektor pendidikan Islam. Karena, birokrasi memiliki peranan dalam perumusan, pelaksanaan dan pengawasan berbagai kebijakan publik, serta evaluasi kinerjanya.
Sehubungan di atas, produk birokrasi bukan sekadar menghasilkan perumusan sebuah kebijakan, namun mempengaruhi pola perilaku manusianya serta nilai-nilai budaya organisasinya. Dalam kaitan ini, bahwa memahami birokrasi dalam lembaga pendidikan Islam bukanlah suatu produk tunggal, melainkan produk politik yang memiliki tujuan tertentu baik dalam memajukan sistem kelembagaannya, ideologinya, maupun secara kolektif. Birokrasi dalam pandangan Max Weber, sebagai bentuk tipe masyarakat rasional yang memungkinkan setiap anggota dalam sebuah lembaga atau kelompok mempunyai tugas, wewenang dan tanggung jawab tertentu, yang dapat memberikan sumbangsi bagi tercapainya tujuan suatu lembaga atau organisasinya.
Mengacu pada konsepsi di atas, birokrasi dalam lembaga pendidikan Islam, seharusnya menjadi sarana untuk mempermudah pembagian struktur dan peran kinerja, membangun iklim kerja yang terarah dan jelas, serta mampu membangun perilaku dan budaya kelembagaannya sesuai dengan visi dan misi kelembagaan. Dalam mewujudkan harapan dan tujuan tersebut, tentu tidak lepas dari beberapa faktor seperti,  peran seorang kepala sekolah sebagai pimpinan dan pengambil kebijakan,  bagaimana menggerakkan dan membangun sumber daya manusianya (guru, staf dan seluruh warga sekolah), bagaimana membangun relasi kerja (networking) dengan lembaga yang lainnya, serta memenuhi sarana dan prasarana penunjang lainnya.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas, makalah ini akan merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.      Apa pengertian birokrasi pendidikan Islam?
2.      Bagaimana birokrasi falam lembaga pendidikan Islam?
3.      Apa maksud dari perilaku organisasi pendidikan Islam?
4.      Bagaimana budaya organisasi pendidikan Islam?

C.    Tujuan Makalah
1.      Untuk mengetahui pengertian birokrasi pendidikan islam.
2.      Untuk mengetahui birokrasi dalam lembaga pendidikan islam.
3.      Untuk mengetahui apa maksud dari prilaku organisasi pendidikan Islam.
4.      Untuk mengetahui bagaimana budaya organisasi pendidikan Islam.















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Birokrasi Pendidikan Islam
Dalam bahasa Yunani birokrasi disebut dengan “kratein” yang berarti mengatur. Sedangkan dalam bahasa Prancis, kata birokrasi disinonimkan dengan kata “bureau” yang artinya kantor. Sedangkan dalam kata bahasa inggris yaitu “bureaucracy” yang diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada tingkat atas, biasanya ditemui pada instasi yang sifatnya administratif maupun militer.[1]
Secara umum, konsep birokrasi banyak diperkenalkan oleh Max Weber, seorang sosiolog Jerman pada awal abad ke20, konsep ini dimunculkan karena sekitar tahun 1900-an, revolusi industri di Inggris mulai menampakkan pengaruhnya pada perubahan struktur sosial yang mendorong pemerintah terlibat dalam berbagai kegiatan publik. Konsep mengenai birokrasi telah banyak dijelaskan oleh para ilmuan. Sehingga istilah dan definisi tentang birokrasi sangat beragam. Namun, sebagai dasar pengetahuan definisi mengenai pengertian birokrasi di bawah ini penulis sajikan beberapa definisi birokrasi.
Max Weber menjelaskan sebagaimana yang dikutip oleh Sinambela, bahwa birokrasi merupakan suatu bentuk organisasi yang memiliki hierarki, spesialisasi peranan dan tingkat kompetensi tinggi, yang ditunjukkan oleh para pejabat yang mengisi peranan birokrasi sehingga efektif dan efisien.[2] Charles Murane mengemukakan bahwa birokrasi sebagai bagian dari politik modern yang mempertimbangkan efisiensi dan rasionalitas dalam pekerjaan.[3] Weber lebih menekankan konsep birokrasi sangat relevan dengan konteks masyarakat modern, karena bagaimana menciptakan relasi kerja yang jelas dan lebih terarah, mempertimbangkan efisiensi waktu, dilaksanakan berdasarkan kompetensi dan profesionalitas, serta lebih bersifat legal-rational (jelas dan dapat dipertanggung jawabkan).
Birokrasi dalam pelaksanaannya, seharusnya menjadi alat untuk menyalurkan tujuan dan pembagian kerja yang terstruktur, sehingga beban kerja tidak hanya dilimpahkan pada satu orang saja. Weber menjelaskan, beberapa tipe ideal birokrasi (ideal type of bureaucracy), sebagaimana yang dikutip oleh Syakir menjelaskan bahwa: Pertama, birokrasi mencerminkan jenjang kewenangan yang berimplikasi pada wilayah kerja antara atasan dan bawahan. Kedua, birokrasi juga ditandai oleh adanya sistem aturan yang menegaskan hak dan kewajiban setiap pemegang jabatan. Ketiga, birokrasi juga menampilkan sistem prosedur yang bertujuan memberikan kejelasan bagaimana suatu pekerjaan diselesaikan dalam tahap-tahap yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain. Keempat, birokrasi seharusnya mendorong bagaimana profesionalitas kerja. Kelima, birokrasi juga mensyaratkan berlangsungnya seleksi dan promosi personil atas dasar pertimbangan kompetensi.[4]
Di satu sisi, rumusan dan konsep birokrasi menginginkan suatu tatanan kerja yang jelas, terstruktur dan sesuai dengan kompetensi pemegang tugas dan wewenang. Contoh konkret misalnya, pemegang kekuasaan pada wilayah pendidikan, secara administratif dan secara keilmuan harus sesuai dengan bidang pendidikan yang ditekuni, karena dalam perumusan kerja dan kebijakan sangat mempengaruhi hasil (outcome). Disisi lain, realitas menyajikan bahwa tidak semua jenis dan jenjang pekerjaan dijalankan oleh orang yang sesuai kompetensi dan keahliannya. Pandangan tersebut, sejalan dengan kritik Lynes yang memandang bahwa birokrasi tidak berjalan sendiri secara rasional, karena banyak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik, kelompok maupun individu, sebab birokrasi itu sendiri merupakan produk dari proses politik.7 Pandangan di atas, menunjukkan bahwa birokrasi bukanlah suatu lembaga netral yang tidak terlibat dengan tujuan-tujuan lain, karena birokrasi akan sangat lekat dengan tujuan politik, ideologi, kelompok, individu dan lain sebagainya.
Sekilas, kedua area ini tampaknya tidak ada hubungan sama sekali. Pada satu sisi birokrasi berkenaan denga tata aturan dan administrasi pemerintahan, sedangkan pendidikan islam berkenaan dengan tata aturan dan pengajaran keagamaan. Memang kalau dikaitkan antara birokrasi yang diartikan sebagai suatu sistem administrasi pemerintahan yang melaksanakan tugas-tugas administrasi berdasarkan pembagian departemen dan subdivisi berdasarkan hirarki kepemimpinan yang baku, tidak memihak dan sistematis adalah konsep tentang hirarki kepemerintahan.[5] Sedangkan konsep pendidikan islam didefinisikan sebagai suatu proses panggilan, pembentukan, pendayagunaan, dan pengembanggan pikir, zikir, dan kreasi manusia; melalui pengajaran, bimbingan, latihan, dan pengabdian; yang dilandasi dan dinafasi oleh nilai-nilai ajaran islam; sehingga terbentuk pribadi muslim sejati, mampu mengontrol dan mengantur kehidupan sepanjang zaman dengan penuh tanggung jawab, semata-mata hanya untuk beribadah kepada Allah swt. adalah konsep tentang pendidikan dan pengajaran yang dilandasi oleh ajaran Agama Islam.[6] 
Birokrat muslim dapat diartikan sebagai, seseorang yang karena penggalamannya dan keahliannya di dalam birokrasi, mampu mengendalikan sejumlah besar orang-orangg pekerja tertentu, praktis hanya dari belakang mejanya.[7] Dengan kata lain birokrat dapat diartikan sebagai pelaku birokrasi. Sebagai seorang pelaku birokrasi, birokrat dituntut untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan hirarki yang dipegangnya yang menurut Miftah Thoha[8] sangat impersonalitas, artinya birokrat menjalankan tugas tanpa harus mempertimbangkan perasaannya sebagai manusia. Yang penting tugas harus dijalankan. Pada sisi lain, konsep pendidikan Islam sudah dipelajari dan memiliki tradisi penelitian yang cukup panjang. Ahmad Tafsir menyatakan bahwa pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju taklif (kedewasan). Baik secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba (‘abd) di hadapan Khaliqnya dan sebagai pemelihara (khalifah) semesta. Karenanya fungsi utama pendidikan adalah mempersiapkan pesrta didik (generasi penerus) dengan kemampuan dan keahlian (skill) yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ketengah masyarakat (lingkungan).[9]

B.     Birokrasi Dalam Lembaga Pendidikan Islam
Dalam pandangan penulis, istilah birokrasi dalam lembaga pendidikan Islam tidak jauh berbeda dengan pengertian birokrasi yang telah dibahas sebelumnya, yakni mengarah pada kolektivitas sebuah lembaga, yang terdiri atas pemegang jabatan, struktur, aturan dan berbagi subsistem lainnya. Ahmad Ludjito, memberikan pandangan bahwa substansi dari birokrasi lembaga pendidikan Islam, merupakan komponen peraturan yang terdiri atas kebijakan, agenda-agenda pendidikan yang bersifat formal dan non formal, akademik, umum, maupun keagamaan.[10]
Sebelum membahas lebih jauh, peran birokrasi dalam lembaga pendidikan Islam, jika kita melacak secara historis kemunculan peran birokrasi dalam lembaga pendidikan Islam, tidak lepas dari hubungan sosialpolitik pemerintahan. Pada pemerintahan Orde Baru (antara 60-an sampai 70-an), di era ini Islam dicurigai oleh pemerintah sebagai kekuatan yang menyaingi negara. Dengan kekuatan politik, pemerintah mengembangkan sistem birokrasi yang dapat mengontrol perkembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Baru pada tahun 70-an, melalui Departemen Agama pendidikan Islam mendapat pengakuan dari pemerintah dengan konsekuensi logisnya harus mengacu pada kebijakan dan peraturan pemerintah. Seiring dengan berjalannya waktu, lembaga pendidikan Islam terus mengalami kemajuan dan perkembangan, dimana peningkatan tersebut ditunjukkan dengan adanya upaya-upaya pengintegrasian madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional. Salah satu perkembangan birokrasi lembaga pendidikan Islam bisa kita lihat dalam keputusan Menteri Agama No. 367/1993, tentang penyelenggaraan pendidikan pra sekolah, melalui Departemen Agama menyelenggarakan pendidikan Roudlatul Athfal/Bustanul Athfal (setera dengan jenjang TK), dalam keputusan tersebut ditetapkan bahwa RA/BA adalah taman kanak-kanak yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan Departemen Agama.[11]
Sehubungan di atas, tujuan dari lembaga pendidikan Islam Roudlatul Athfal adalah: Pertama, memberikan bekal dasar keimanan dan ketakwaan. Kedua, meletakkan perkembangan anak ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan dan daya cipta yang diperlukan anak untuk hidup dilingkungan masyarakatnya. Ketiga, memberikan bekal kemampuan dasar untuk memasuki madrasah (sekolah) pada jenjang berikutnya. Keempat, memberikan bekal untuk mengembangkan diri sesuai dengan asas pendidikan sedini mungkin dan seumur hidup.[12]
Berangkat dari paradigma dan konsep birokrasi di atas, penulis memberikan uraian bahwa tujuan birokrasi dalam lembaga pendidikan Islam adalah: Pertama, penyusunan struktur pelaksana dan pembagian tugas kerja. Kedua, merumuskan dan menetapkan agenda-agenda lembaga yang akan dijalankan. Ketiga, pelaksanaan agenda kerja yang mengarah pada program kelembagaan yang telah direncanakan. Keempat, pengembangan program kerja dan program-program kelembagaan lainnya. Kelima, pendampingan pelaksanaan program kerja oleh kepala sekolah atau pemegang wewenang. Kelima, evaluasi sebagai bentuk kontrol dan tindak lanjut dari program kerja yang sudah dilaksanakan.


C.    Perilaku Organisasi Pendidikan Islam
Mengetahui kajian mengenai perilaku dalam organisasi secara formal, telah ada sejak lama, khususnya setelah dikeluarkannya sebuah buku yang berjudul the wealth of nation pada tahun 1776, karya Adam Smith. Dalam karya tersebut, sebagaimana yang dikutip Cepi Triatna, Adam Smith memberikan perhatian pada spesialisasi kerja individu bahwa untuk meningkatkan produktivitas kerja, maka dibutuhkan spesialisasi atau profesionalitas kerja, pembagian kerja, serta keterampilan untuk menjalankan tugas-tugas yang ada.[13]
Perilaku organisasi tidak lepas dari persoalan hubungan antara individu dengan individu yang lainnya (interaksi sosial), hubungan individu dengan organisasinya (lembaga), serta hubungan individu dengan lingkungan sekitarnya. Cepi Triatna memberikan pandangan bahwa ruang lingkup perilaku organisasi meliputi, bagaimana memahami orang-orang dalam satuan sosial, mengelola, dan memprediksi bagaimana mereka dapat bekerja secara efektif.[14]
Dalam konteks lembaga pendidikan Islam, perilaku organisasi tersebut dapat dipelajari pada dua aspek yakni: Pertama, manajemen kerja (managing work), yakni sebuah konsep yang dapat mengetahui bagaimana perilaku individu beradaptasi dengan lingkungan kerjanya, bagaimana menjalankan program kerja, serta mengontrol tujuan kerja. Kedua, manajemen orang (managing people), yakni aspek-aspek yang terkait dengan bagaimana faktor komunikasi, kepemimpinan, dan motivasi dari setiap individu dalam menjalankan tugas dan peran kelembagaan.[15] Perilaku organisasi pada dasarnya menunjukkan sikap dan kemampuan dari setiap individu, dan kelompok bagaimana dalam memahami dan menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam memajukan organisasinya.
Dalam organisasi pendidikan Islam, perilaku dianggap penting karena dapat mempengaruhi kualitas pekerjaan. Penulis memahami bahwa tindakan konkret yang dapat dilakukan oleh seorang pemimpin (leader) kaitannya dengan pengembangan perilaku organisasi adalah: Pertama, mempelajari dengan baik individu maupun kelompok yang ada dalam organisasi tersebut sebagai langkah awal untuk mendeteksi pola interakasi dan perilaku lebih mendalam dari setiap anggota organisasi. Kedua, membangun pola interaksi yang flexible untuk menumbuhkan keterbukaan dan kolektivitas kerja. Ketiga, kepercayaan pada setiap anggota organisasi bahwa mereka mampu menyelesaikan dengan baik tugas dan tanggung jawab yang telah diberikan. Keempat, loyalitas artinya sikap bertanggung jawab yang ditunjukkan oleh seorang pemimpin menjadi nilai dasar bagi anggota organisasi untuk berperilaku loyal terhadap organisasinya.
Oleh karena itu, kaitannya dengan peran lembaga pendidikan Islam, kendali lembaga dalam hal ini peran seorang pemimpin agar menghasilkan perilaku organisasi yang ideal, Stephen P. Robbins sebagaimana yang dikutip Cepi Triatna menggambarkan secara sederhana sebagaimana gambaran skema yaitu, input, proses dan output.[16] Dari skema tersebut menunjukkan bahwa input manusia dalam organisasi harus dikelola secara proporsional (sesuai kebutuhan dan kapasitas), untuk meminimalisir berbagai fenomena kerja dan perilaku organisasi yang tidak sesuai dengan kapasitas dan kebutuhan kerja, hal ini  memungkinkan terjadinya ketidak puasan kinerja dan mempengaruhi proses dan produktivitas organisasi, karena pekerjaan dijalankan oleh yang bukan ahlinya, sehingga faktor tersebut berpengaruh sampai pada output (hasil).

D.    Budaya Organisasi Pendidikan Islam
Budaya organisasi secara harfiahnya terdiri dari dua suku kata, yaitu budaya dan organisasi. Kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta budhayah bentuk jamak dari kata budhi artinya akal atau pemikiran, jadi makna budaya merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan akal pikiran, nilai-nilai, sikap dan mental serta hasil karya dan pemikiran manusia.[17] Sedangkan kata organisasi dalam bahasa Inggris disebut organization (kelompok, wahana), sehingga organisasi merupakan sarana/alat bagi orang-orang yang terlibat dalam satu organisasi untuk melakukan berbagai usaha dalam mencapai tujuan tertentu.[18]
Berangkat dari pandangan di atas, untuk memperdalam pandangan mengenai budaya organisasi, di bawah ini beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian budaya organisasi.
Adam Ibrahim Indrawijaya, mengemukakan bahwa budaya organisasi adalah keseluruhan nilai, norma-norma, kepercayaan, serta pandangan yang dianut dan dijunjung tinggi bersama oleh para anggota organisasi, sehingga kebudayaan tersebut memberi arah dan corak kepada cara berfikir dan pandangan kehidupan (way of thinking, way of life).[19]
Stoner, menjelaskan sebagaimana yang dikutip oleh Suwarto dan Koeshartono, bahwa budaya organisasi adalah sejumlah pemahaman penting seperti norma, nilai, sikap, dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh anggota organisasi.[20] Batasan mengenai makna budaya organisasi yang ditanamkan dalam suatu sistem organisasi kemudian diyakini oleh setiap anggota sangat mempengaruhi sikap dan perilaku anggota organisasinya yang kemudian berpengaruh pada kinerja organisasi. Bentuk dari pengaruh budaya organisasi pada suatu lembaga bisa kita lihat pada perbedaan dua lembaga, misalnya antara lembaga pendidikan Islam (madrasah) dan lembaga kepolisian. Tentu jika berkunjung kedua lembaga tersebut kita akan merasakan atmosfer yang sangat berbeda. Mulai dari pintu masuk gerbang, hingga interaksi sosialnya memberikan gambaran bagaimana simbol dan budaya organisasinya. Nilai dasar budaya organisasi yang ditanamkan dalam suatu lembaga, memberikan perbedaan dan pengaruh yang sangat signifikan baik melalui simbol-simbol, komunikasi, hingga interaksi sosial lainnya.
Teori dan konsep mengenai budaya organisasi di atas, relevansinya dengan nilai-nilai pendidikan Islam mengandung beberapa dimenasi penting sebagai berikut: Pertama, adanya perbedaan nilai yang membedakan antara lembaga pendidikan Islam dengan lembaga-lembaga lainnya, yang tentunya menunjukkan tujuan dari lembaga pendidikan Islam tersebut. Kedua, simbol seperti simbol yang bisa diindera misalnya pakaian, produk lembaga, dan sebagainya. Ketiga, pola interaksi sosial, baik berupa komunikasi, pergaulan dan sikap.


























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dalam pengembangan birokrasi pendidikan Islam membutuhkan rantai birokrasi sebagai sarana untuk pembagian kerja, struktur, peraturan, kebijakan dan kebutuhan lainnya.  Penguatan Perilaku dan budaya organisasi dalam lembaga pendidikan Islam adalah sumber nilai, tata kehidupan, dan ciri tertentu yang membedakan lembaga tersebut dengan lembaga-lembaga lainnya. Dalam mengembangakan birokrasi, perilaku dan budaya organisasinya, beberapa strategi dan kebijakan yang dilakukan, seperti: Pertama, birokrasi kelembagaanya sangat “dialogis” artinya segala sesuatu yang berkaitan dengan pembagian struktur, tugas dan unsur-unsur kelembagaan lainnya selalu dirumuskan melalui ruang-ruang diskusi atau sharing, tujuannya agar tugas dan tanggung jawab yang diemban oleh setiap anggota diputuskan secara bersama-sama. Kedua, strategi rolling job merupakan bentuk keseimbangan tugas dan tanggung jawab bagi semua anggota agar tidak terjadi penumpukan tanggung jawab pada satu orang saja. Ketiga, perilaku Islami seperti bertanggung jawab, jujur dan menghormati antara sesama anggota adalah nilai dasar yang terus ditekankan baik oleh kepala sekolah maupun sesama anggota dalam organisasi ini, agar terbangun komunikasi dan kerjasama yang harmonis. Keempat, mempertahankan budaya akar rumput, misalnya budaya masyarakat Jawa yang masih dipertahankan, tujuannya adalah untuk menanamkan nilai-nilai kebudayaan pada anak-anak sejak dini serta membangun rasa kekeluargaan antara sesama anggota.

B.     Saran
Dalam penyusunan makalah yang sangat sederhana ini tentunya banyak kekurangan dan kekeliruan, yang menjadi sorotan adalah bagaimana makalah ini dapat disusun setidaknya mendekati kata sempurna dan dapat mencakup substansi materi yang ingin disampaikan sehingga tujuan pembelajaranpun dapat terpenuhi.Dalam kesempatan ini kami selaku penyusun tentunya sangat mengharapkan segala saran,kritik dan pengayaan yang bersifat membangun dan dapat diberikan landasan pijakan dari teori yang akan kami tambahkan demi kesempurnaan penyusunan yang akan datang.




























DAFTAR PUSTAKA
Basid Abdul, 2014. Transformasi Birokrasi Pelayanan Publik, dalam Dyah Mutiarin, Manajemen Birokrasi dan Kebijakan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
L.P Sinambela, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksar, Jakarta.
Murane Charles 2006. Bureaucracy and modernity, University of Texas at Austin.
Syakir, 2014. Reformasi Birokrasi, dalam Dyah Mutiarin, Manajemen Birokrasi dan Kebijakan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Martadisastra Ukasih, 1983. Ilmu Administrasi Negara-Perbandingan, Penerbit Pustaka Prima, Bandung.
Isa Anshiri, Imam Banawi, 1991. Cendekiawan Mulim Dalam Perspektif Pendidikan Islam, Bina Ilmu, Surabaya.
Atmosudirjo Prajudi .S, 1982. Administrasi dan Management Umum, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Thoha Miftah, 1991.  Prespektif Prilaku Birokrasi, Rajawali Press, Jakarta.
Tafsir Ahmad,  Permasalahan Pendidikan Agama Bagi Remaja, Artikel Internet, Tripod.
Ludjito Ahmad, 1998. Pendidikan Agama Sebagai Subsistem dan Implementasinya dalam Pendidikan Nasional, dalam Chabib Thoha dan Abdul Mu’ti, PBM PAI di Sekolah: Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Fajar Malik, 1999. Madrasah dan Tantangan Modernitas, Mizan, Bandung. 1999.
Binbagais Ditjen, 1978.  Informasi Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta.
Triatna Cepi, 2015. Perilaku Organisasi dalam Pendidikan, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Indrawijaya Ibrahim Adam, Teori dan Perilaku.
D. Koesharto, F.X Suwarto, 2009.  Budaya Organisasi: Kajian Konsep dan Implementasi, Universitas Atmajaya, Yogyakarta.







[1] Abdul Basid, Transformasi Birokrasi Pelayanan Publik, dalam Dyah Mutiarin, Manajemen Birokrasi dan Kebijakan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 107.
[2] L.P Sinambela, Reformasi Pelayanan Publik, (Jakarta: Bumi Aksara), hlm. 115.
[3] Charles Murane. Bureaucracy and modernity, (University of Texas at Austin, 2006). Hlm. 138.
[4]Syakir, Reformasi Birokrasi, dalam Dyah Mutiarin, Manajemen Birokrasi dan Kebijakan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 150.
[5]Ukasih Martadisastra, Ilmu Administrasi Negara-Perbandingan, (Bandung: Penerbit Pustaka Prima, 1983), hal. 67-68
[6] Imam Banawi dan Isa Anshiri, Cendekiawan Mulim Dalam Perspektif Pendidikan Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1991), hal. 70
[7] S. Prajudi Atmosudirjo, Administrasi dan Management Umum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 119.
[8]  Miftah Thoha, Prespektif Prilaku Birokrasi, (Jakarta: Rajawali Press, 1991), hal. 57.
[9]  Ahmad Tafsir, Permasalahan Pendidikan Agama Bagi Remaja, Tripod, Artikel Internet, hal. 10
[10]Ahmad Ludjito, Pendidikan Agama Sebagai Subsistem dan Implementasinya dalam Pendidikan Nasional, dalam Chabib Thoha dan Abdul Mu’ti, PBM PAI di Sekolah: Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 4.
[11]Malik Fajar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 68.
[12]Ditjen Binbagais, Informasi Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, (Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1978), hlm. 54.
[13]Cepi Triatna, Perilaku Organisasi dalam Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), hlm. 14.
[14] Ibid., hlm. 2.
[15] Ibid., hlm. 2.
[16] Ibid., hlm. 8.
[17] Adam Ibrahim Indrawijaya, Teori dan Perilaku., hlm. 195.
[18] Ibid., hlm. 9.
[19]Ibid., hlm. 198.
[20]F.X Suwarto dan D. Koeshartono, Budaya Organisasi: Kajian Konsep dan Implementasi, (Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2009), hlm. 2.

Komentar